Thursday, February 02, 2006

Kelola Konflik dengan Cantik

Masalah sekecil apapun dalam rumah tangga berpotensi memunculkan konflik besar yang mengarah pada prahara rumah tangga.

Menurut Yati Utoyo Lubis, MA Psikolog UI, bila salah satu pasangan jorok, sementara yang lainnya sangat rapi itu saja sudah bisa memunculkan konflik, Dengan catatan masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut hingga berbalut emosi dan panas hati. Oleh karena itu, pasangan suami istri perlu menata masalah agar tidak berujung pada konflik. Apa saja kiat-kiatnya?

1. Tenangkan diri dan intropeksi.

Begitu merasa ada masalah, sebelum mengambil keputusan dan tindakan lanjutan, berhentilah sejenak. "Coolingdown dululah, sebagai langkah awal untuk menata emosi, agar hati menjadi tenang," kata Ustadz Amang Syafruddin

Dalam tahapan ini, lanjutnya cobalah bertanya pada diri sendiri, berpikir tentang masalah yang dihadapi, benar-benar perlukah dipermasalahkan? bisa jadi, setelah direnungkan, masalah yang dirasakan hanya sekedar luapan emosi sesaat. Mudah diatasi dengan memaafkan atau meminta maaf. Dalam masa tenang ini, kita mempunyai kesempatan untuk intropeksi diri, apa sebab hal itu menjadi masalah? Masalah bagi siapa? bagi saya atau bagi pasangan?

Psikolog Universitas Islam Indonesia Fauzil Azhim mengungkapkan, kita harus selalu siap mengevaluasi masalah niat, tujuan dan orientasi pernikahan selama ini, jika suatu saat nanti berhadapan dengan masalah dalam perkawinan. Ia menjelaskan, dari sebagian besar kasus rumahtangga yang dirinya tangani adalah berawal dari persoalan niat, tujuan dan orientasi pernikahan yang tidak tepat. Jadi tanyakanlah kepada diri sendiri, apakah nilai-nilai agama sudah menjadi landasan anda dalam mengarungi bahtera rumahtangga? Apakah problem anda muncul, karena anda sudah menyimpang dari tujuan dan orientasi pernikahan yang Islami?

Mengapa Rasulullah menjadikan agama sebagai orientasi utama, yang perlu diambil seseorang saat memilih pendamping hidup, disamping alasan harta, fisik dan faktor keturunan. Ustadz Amang menambahkan, Orientasi ini akan menjadi panglima bagi upaya penyelesaian konflik dalam rumahtangga. Apakah semua konflik suami istri bisa diselesaikan dengan berpegang pada harta yang banyak? Atau fisik yang rupawan dan faktor keturunan seperti misalnya campur tangan mertua?

Ternyata, kata Ustadz Amang Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Qudwah, yang bisa mengatasi semua konflik rumah tangga adalah faktor agama seseorang. Bila orientasi pernikahannya mengacu pada kehendak Allah, berlandaskan pada nilai-nilai agama, maka setiap persoalan dapat diatasi tanpa menunggu hadirnya konflik. Misalnya, lewat nasihat, kesabaran, rasa cukup, tidak berburuk sangka, cek and ricek(tabayun), akhlak yang mulia dan lain-lain.

2. Komunikasian segera

Bila masalah yang muncul masih dianggap cukup mengganggu, sebiknya jangan menunggu hingga berlarut-larut, apalagi sampai meninggikan ego dengan berpikir, seharusnya dia ngerti dong kalau aku ada masalah, seharusnya dia mikir dong..., seharusnya dia merasa dong...

"Manusia itu kan tidak mampu membaca pikiran," ujar Yati Utoyo Lubis

Untuk itu, Yati mengatakan begitu ada yang tidak pas, tidak setuju, ada konflik kepentingan, cobalah dikomunikasikan. Jangan sampai menunggu pasangan sampai peka, lebih baik if we have something, sebaiknya kasih tahu saja. "Biasanya masalah memang terasa banyak, tapi cobalah untuk mengurai satu-persatu lewat komunikasi yang santun yang perlu diingat, komunikasi bukan hanya sekedar memberitahu, tapi berlaku dau arah yaitu mau mendengarkan," ungkapnya.

Sementara itu, Fauzi Fahmi mengungkapkan siapa saja yang merasa bersalah terlebih dahulu, maka ia memiliki amanah paling awal mengingatkan pasangannya atau membenahi rumah tangganya.

"Jadi bukan hanya menyalahkan pasangan atau berharap pasangan mau mengakui kesalahannya, tapi harus bisa menunjukan jalan untuk menuju rumah tangga yang lebih indah, bersahabat dan bertabur kebaikan, " tegasnya.

Ia menilai memendam masalah berlarur-larut, ibarat membuat tumpukan bom yang sewaktu-waktu dapat meledak dan mengguncang rumah tangga. Sehingga menimbulkan dampak negatif, seperti hilangnya kepercayaan, depresi bahkan putus asa.

3. Cari Penengah yang terpercaya

Adakalanya konflik suami istri sudah semakin akut sehingga sulit untuk diselesaikan. Dalam situasi seperti ini diperlukan seorang penengah yang bisa bersikap netral, misalnya orang tua, mertua, Ustadz, BP4 atau psikolog. Namun, Yati Utoyo Lubis menyatakan sebelum kita meminta bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalah, sebaiknya masalah itu diselesaikan dulu sendiri. Maksimalkan dulu usaha kita, karena ini merupakan tanggungjawab orang berumah tangga untuk mempertahankan pernikahannya.

Menurut Ustadz Amang, penengah yang dapat dipilih adalah orang yang berpandangan objektif dan adil dalam menimbang masalah. dalam surat annisa ayat 35 dikatakan diutuslah dua orang hakim, yang bermakna dari pihak istri dan pihak saumi yang bisa menengahi masalah. Bila keduanya benar-benar berkeinginan kuat untuk ishlah, Insyaallah hubungan suami-istri ini akan membaik.

4. Mengalah untuk menang

Sangatlah wajar jika dalam sebuah konflik masing-masing pihak merasa paling benar, dan karenanya dirinya harus memperoleh kemenangan. Tetapi, tambah Yati kelanggengan pernikahan sangat dipengaruhi oleh banyaknya toleransi yang terbangun antara suami istri, yang kadang diartikan sebagai mengalah.

Memilih mengalah jelas Yati, tidak akan menjadi masalah, bila diambil untuk memperoleh kebaikan, karena dengan bertoleransi kita sadar bahwa apa yang kita harapkan tidak selalu sama dengan apa yang kita terima. "Bukankah ketika menikah kita pun sudah bertekad untuk menerima pasangan apa adanya?" ungkapnya.

Tentu saja tambah Yati, yang terbaik adalah mengalah dalam rangka memperbaiki situasi, dan harus dilakukan oleh kedua belah pihak dengan keikhlasan. Jadi bukan hanya sekedar terpaksa mengalah atau harus selalu mengalah. Sehingga yang akan terjalin di antara pasangan suami istri adalah klausul, "Sometimes dia menang, sometime kita yang menang..." katanya.